Kamis, 18 Mei 2006

Pengeprasan Bukit Ancam Konservasi



Kamis, 18 Mei 2006 | NASIONAL

Menelusuri Cagar Geologi Karangsambung (2)

STUDI LAPANGAN: Sejumlah mahasiswa geologi Universitas Padjajaran Bandung melakukan studi lapangan di Gunung Parang, tak jauh dari kampus LIPI, dibimbing dosen ITB dan staf peneliti UPT. (57j). Foto SM/Komper Wardopo.

SIANG itu, terik matahari di balik lereng Gunung Parang, Desa Karangsambung, Kecamatan Karangsambung, Kebumen, terasa menembus ubun-ubun. Parno (50), pemilik bukit itu, tengah istirahat setelah memecah batu.

Sembari mengisap sebatang rokok, lelaki itu ditemani dua tetangganya, Marsono (46) dan Sali (37), duduk di atas tumpukan batu belah yang baru digali dari bukit di belakang Unit Pelaksana Teknis (UPT) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Balai Informasi dan Konservasi Kebumian (BIKK) Karangsambung.

Parno mengaku, setiap hari terpaksa mengepras bukit guna menopang hidup. Batuan hitam kebiruan yang cocok untuk fondasi itu, ia jual untuk proyek apa saja. Tiap satu rit truk ditawarkan Rp 100.000. "Kadang sehari dapat satu rit, kadang tidak," ucapnya dengan nada ketus.

Tak jauh dari bukit itu, masih termasuk kawasan konservasi yang dilindungi. Sebab, batuan tersebut telah menjadi cagar geologi yang dipayungi dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Jateng 1995. Namun, pemerintah dan LIPI belum mampu membeli dan membebaskan semua kawasan batuan tersebut.
DPRD Kebumen pun, belakangan ini memprihatinkan penggalian batu secara liar yang mengggunakan bahan peledak itu. Meski lokasi yang digali di kawasan cagar geologi, nyatanya tetap aman-aman saja. Padahal, di kawasan itu terdapat formasi batuan yang khas.

Andalan Penelitian

Kemiringan bukit batuan beku, membentuk tiang-tiang batu yang menarik akibat kontraksi saat pembekuan. Tak heran, batuan jenis kolom itu menjadi salah satu andalan penelitian UPT BIKK Karangsambung. 

Hanya, di dekatnya juga ada penambangan yang lebih intensif. Kegiatan pengeprasan bukit berlangsung setiap hari dan semakin melebar areanya.
Batu belah, dipecah besar-besar untuk fondasi; batu belah kecil untuk krokos jalan, dan batu split atau kericak untuk pengaspalan. Lengkap sudah ancaman bagi kawasan cagar alam geologi Karangsambung tersebut.

Tak hanya itu ancaman kerusakan cagar geologi berlangsung. Di Desa Totogan, malah ada penambangan marmer yang berlangsung lama. Demikian pula di Desa Pucangan, batuan serpentinit yang unik berwarna merah, biru, dan hitam, yang semestinya tak boleh diambil, oleh penduduk justru dimanfaatkan untuk dijual menjadi ornamen bagi perumahan. Batu itu kategori langka, sehingga harganya pun cukup mahal.

Tiap pekan, dua sampai tiga truk mengangkut batu-batu unik Kebumen itu, yang kemudian dipasarkan ke kompleks perumahan baru di Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Ada yang untuk dinding, lantai, ada pula yang untuk ornamen rumah. Bahkan, kini ada pabrik pengolah batu dinding di Tanuraksan, dekat dengan Kota Kebumen.(Komper Wardopo-60a) 

http://suaramerdeka.com/harian/0605/18/nas19.htm

0 komentar:

Posting Komentar